PENDIDIKAN ZAMAN
KERAJAAN ISLAM
Menurut Ibnu
Batutah dalam bukunya “Rihlah Ibn Batutah”ketika
mengnjungi Kerajaan Samudra Pasai pada tahun 1354 Ia mengikuti kajian haalqah
yang dilakukan oleh raja setelah Sholat jum;at hingga waktu ashar dimana isi
dari halaqah tersebut mengenaimasalah keagamaan dan keduniawian.
Dengan demikian,
Kerajaan Samudera Pasai merupakan tempat studi islam pertama di Indonesia,
sedangkan jikad iluar kerajaan maka kuat dugaan
studi islam sudah dilakukan oleh para pedagang yang berdatangan
khususnya dari timur tengah yang mayoritas mereka adalah muslim.
Setelah kemunduran
dari Kerajaan Samudra Pasai, pendidikan islam masih berlanjut bahkan mampu
menjangkau hingga Asia Tenggara. Ketika Kerajaan Malaka muncul dan menjadi
pusatkegiatan politik pada saat itu, pusat studi islam pun kembali berkembang.
Belum ditemukan data tentang bagaimana
pendidikan islam di Kerajaan Malaka jika dibandingkan dengan pendidikan islam
pada masa Kerajaan Samudra Pasai yang studi islamnya dilakukan di masjid
istana, masjid-masjid sekitar maupun surau-surau yang ada.
Adapun mata
pelajaran yang diberikan pada masa tersebut adalah seperti :
a.
Tingkat dasar terdiri dari pelajaran membaca dan
menulis bahasa arab, pengajian Al-Qur’an dan ibadah praktis.
b.
Tingkat yang lebih tinggi seperti fiqih,
tasawuf, ilmu kalam, dll
Sistem pengajaran
pada saat itu adalah sebagai berikut :
Berawal dari pengajian Al-Qur’an dengan tahap awal bacaan huruf
hijaiyah Menghafal surat-surat
pendek seperti juz amma persoalan yang berkaitan dengan fiqih dan
tasawuf.
Setelah
pusat studi islam di Malaka tumbuh pesat, maka daerah seperti Jawa, Palembang,
dan Banjarmasin pun mengikuti seperti di Jawa dimana para ulamanya banyak
mengarang kitab, di Minangkabau lebih kepada mendirikan surau-surau dll. Bahkan
dari surau inilah cikal bakal lembaga pendidikan yang lebih teratur dimasa
berikutnya seperti pesantren di jawa, dayah/rangkeng di Aceh, dab surai di
Minangkabau, langgar di Kalimantan Selatan, Masjid di Bontoalo Sulawesi.
Setelah
berdirinya kerajaan Demak, pendidkan islam bertambah maju dan Demak menjadi pusat studi islam selanjutnya
setelah Samudra Pasai dan Malaka.Bahkan
pada tahun 1476 di Bintoro dibentuk organisasi untuk memajukan pendidikan
islam. Berdasarkan rencana itu, ditempat sentral harus memiliki masjid dan
dipimpin oleh “wali”atau “badal”.
Wali
di suatu daerah diberi gelar Sunanlalu ditambah
nama daerahnya misalnya seperti sunan gunung jati dll sedangkan Badal
gelarnya kiai ageng seperti kiai agung selo dll. Sayang,kita tidak menjumpai kitab apasaja
yang dipakai pada waktu itu.
Setelah
Kerajaan Demak Runtuh, Pusat studi islam pindah ke Mataram tahun 1586, bahkan
pada saat pemerintahan Sultan Agung Mataram, beliau membuat kebijakan dengan
mempertahankan kebudayaan lama yang sesuai dengan islam seperti :
a.
Gerebeg
b.
Gamelan sekaten
c.
Tahun Caka (Hindu) dll
PENDIDIKAN ISLAM PADA ZAMAN PENJAJAHAN
BELANDA DAN JEPANG
A. Pendidikan Pada Masa Penjajahan Kolonial Belanda
Penaklukan bangsa Barat atas dunia Timur dengan
jalan perdagangan, kemudian dengan kekuatan militer. Kedatangan bangsa Barat
memang telah membawa kemajuan teknologi. Tetapi tujuannya adalah untuk meningkatkan
hasil penjajahannya, bukan untuk kemakmuran bangsa yang dijajah. Begitu pula di
bidang pendidikan. Mereka memperkenalkan sistem danmetode baru tetapi sekedar
untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah
yang murah dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari
Barat. Apa yang mereka sebut pembaharuan pendidikan itu adalah westernisasi
dari Kristenisasi yakni untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah
yang mewarnai kebijaksanaan penjajahan Barat di Indonesia selama ± 3,5 Abad[1].
Pemerintah Belanda mulai menjajah Indonesia
pada tahun 1619 M, yaitu ketika Jan Pieter Zoon Coen menduduki Jakarta, dan
dilawan oleh Sultan Agung Mataram yang bergelar Sultan Abdurrahman
Khlaifatullah Sayidin Panotogomo[2].
Sejak dari zaman VOC (Belanda Swasta)
kedatangan mereka di Indonesia sudah bermotif ekonomi, politik dan agama. Dalam
hak actroi VOC terdapat suatu pasal yang berbunyi sebagia berikut : ”Badan ini
harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang. Dan harus
memperhatikan perbaikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah”.
Ketika Van den Boss menjadi Gubernur Jenderal
di Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijaksanaan bahwa sekolah-sekolah
gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah. Departemen yang
mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu. Dan di tiap daerah Kepresidenan didirikan satu
sekolah agama Kristen.
Gubernur Jenderal Van den Capellen pada tahun
1819 M mengambil inisiatif merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk
pribumi agar dapat membantu pemerintah Belanda. Dalam surat edarannya kepada
para Bupati tersebut sebagai berikut : ”Dianggap penting untuk secepat mungkin
mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan
menulis bagi penduduk pribumi agar lebih mudah untuk dapat menaati undang-undang
dan hukum negara”[3].
Setelah ambruknya VOC tahun 1816, pemerintah
Belanda menggantikan kedudukan VOC Status Hindia Belanda tahu 1801 dengan terang-terangan menyatakan ”bahwa
tanah jajahan harus memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada
perdagangan dan kepada kekayaan negeri Belanda.” Pada tahun 1842, Merkus, menteri jajahan memberikan
perintah agar Gubernur Jenderal berusaha dengan segenap tenaga pembesar
keuntungan bagi negerinya. Walaupun setiap gubernur jenderal pada penobatannya
berjanji dengan khidmat bahwa ia akan memajukan kesejahteraan Hindia Belanda
dengan segenap usaha, ternyata Hindia Belanda sebagai negeri yang direbut harus
terus memberi keuntungan kepada negeri Belanda sebagai tujuan pendudukan itu.
Pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi
(perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak
lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Berbeda dengan kondisi di negeri
Belanda sendiri dimana lembaga pendidikan dikelola secara bebas oleh
organisasi-organisasi keagamaan, maka selama abad ke-17 hingga 18 M, bidang
pendidikan di Indonesia harus berada dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC.
Jadi, sekalipun penyelenggaraan pendidikan tetap dilakukan oleh kalangan agama
(gereja), tetapi mereka adalah berstatus sebagai pegawai VOC yang memperoleh
tanda kepangkatan dan gaji. Dari sini dapat dipahami, bahwa pendidikan yang ada
ketika itu bercorak keagamaan (Kristen Protestan). Secara umum sistem
pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pendidikan Dasar
2. Sekolah Latin
3. Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)
4. Academie der Marine (Akademi Pelayanan)
5. Sekolah Cina
6. Pendidikan Islam
Pendidikan untuk komunitas muslim relatif
telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang
dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut
campur mengurusi atau mengaturnya.
Pada tahun 1882 M pemerintah belanda
membentuk badan khusus yang bertugugas mengawasi kehidupan bergama dan
pendidikan islam yang disebut Priesterraden[4].
Maka pada tahun 1901 M muncullah apa yang
disebut dengan politik ETIS yakni politik balas budi bangsa Belanda kepada
Indonesia. Pencetus politik ini adalah Van Deventer, yang kemudian politik ini
dikenal juga dengan Trilogi Van Deventer. Secara umum isi dari politik ETIS ini
ada tiga macam yaitu, Education (pendidikan), Imigrasi (perpindahan penduduk)
dan Irigasi (pengairan). Yang akan dikupas adalah mengenai education atau
pendidikan.
Pada tahun 1905 M pemerintah mengeluarkan
peraturan yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran (baca pengajian)
harus minta izin lebih dahulu.
pada tahun 1925 M pemerintah mengeluarkan
peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama islam yaitu bahwa
tidak semua orang (kiyai) boleh memberikan pelajaran mengaji.
pada tahun 1932 M keluar pula peraturan yang
dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau
memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah yang disebut Ordonansi
Sekolah Luar (Wilde School Ordonantie) peraturan ini dikeluarkan setelah
munculnya gerakan nasionalisme-islamisme pada tahun 1928 M,berupa semua pemuda.
Selain dari pada itu untuk lingkungan kehidupan agama kristen diindonesia yang
selalu menghadapi reaksi dari rakyat, dan untuk menjaga dan menghalangi
masuknya pelajaran agama disekolah umum yang kebanyakan muridnya beragama
islam, maka pemerintah mengeluarkan peraturan yang disebut netral agama. yakni
bahwa pemerintah bersikap tidak memihak kepada salah satu agama sehingga
sekolah pemerintah tidak mengajarkan agama. dan pemerintah melindungi tempat
peribadatan agama ( Indiche Staat Regeling pasal 173-174)
Maka dengan demikian dengan tempo yang tidak
lama pendidikan islam akan menjadi lumpuh atau porak poranda. akan tetapi apa
yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah keadaan yang sebaliknya. masyarakat
islam diindonesia pada zaman itu laksana air hujan atau air bah yang sulit
dibendung.
Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia
pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan
sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar
Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS,
VgS), dan sekolah peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan
umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan. (3) Pendidikan tinggi.
Dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan
islam pada zaman kolonial belanda tidak mendapat rintangan, hal ini ditandai
dengan bermunculanya lembaga-lembaga pendidikan yang semuanya berjalan dengan
lancar walaupun terlihat abiturie(lulusan)nya tidak bisa diterima oleh mereka
dan yakin kalau kesadaran dari pihak islam telah timbul untuk tidak bekerja
pada belanda yang telah menjadi perintang kemajuan bangsa. Kenyataan seperti
ini sayang masih berlaku sampai sekarang sehingga orang-orang islam kurang
berperan dalam pemerintahan. Hal ini tentu penyebabnya adalah melemahnya
kekuatan politik islam walaupun islam di indonesia mencapai jumlah yang sangat
banyak.
B. Sistem Pendidikan Islam Pada
Masa Penjajahan Kolonial Belanda
Pada masa kolonial Belanda pendidikan Islam di sebut juga
dengan bumiputera, karena yang memasuki pendidikan islam seluruhnya orang
pribumi indonesia.
Pendidikan islam pada masa penjajahan Belanda ada tiga
macam,yaitu:
1) Sistem pendidikan peralihan
Hindu Islam
2) Sistem pendidikan surau (langgar)
3) Sistem pendidikan pesantren
1. Sistem pendidikan peralihan
Hindu Islam
Sistem ini merupakan sistem pendidikan yang
masih menggabungkan antara sistem pendidikan Hindu dengan Islam. Pada garis
besarnya, pendidikan dilaksanakan dengan menggunakan dua sistem, Yakni: (1)
sistem Keraton;dan (2) sistem Pertapa.
Sistem pendidikan keraton ini dilaksanakan
dengan cara, guru mendatangi murid-muridnya. yang menjadi murid-muridnya adalah
anak-anak para bangsawan dan kalangan keraton. Sebaliknya, sistem pertapa, para
murid mendatangi guru ke tempat pertapaanya. adapun murid-muridnya tidak lagi
terbatas pada golongan bangsawan dan kalangan keraton, tetapi juga termasuk
rakyat jelata.
2. Sistem Pendidikan Surau
Surau merupakan istilah yang banyak digunakan
di asia tenggara, seperti Sumatera Selatan, Semenanjung Malaya, Patani
(Thailand). Namun yang paling banyak dipergunakan di Minangkabau. Secara bahasa
kata surau berarti “tempat” atau “tempat penyembahan”. Menurut pengertian
asalnya, surau adalah bangunan kecil yang dibangun untuk menyambah arwah nenek
moyang. Beberapa ahli mengatakan bahwa surau berasal dari India yang merupakan tempat yang digunakan sebagai
pusat pembelajaran dan pendidikan Hindu-Budha.
Seiring dengan kedatangan Islam di
Minangkabau proses pendidikan Islam dimulai oleh Syeikh Burhanudin sebagai pembawa
Islam dengan menyampaikan pengajarannya melalui lembaga pendidikan surau. disurau ini anak laki-laki umumnya tinggal, sehingga memudahkan
Syeikh menyampaikan pengajarannya.
Dalam lembaga pendidikan surau tidak mengenal birokrasi
formal, sebagaimana yang dijumpai pada lembaga pendidikan modern. aturan yang
ada didalamnya sangat dipengaruhi oleh hubungan antar individu yang terlibat.
Secara kasat mata dapat dilihat dilembaga pendidikan surau tercipta kebebasan,
jika murid melanggar suatu aturan yang telah disepakati bersama, murid tidak
mendapatkan hukuman tapi sekedar nasihat. Lembaga surau lebih merupakan suatu proses
belajar untuk sosialisasi dan interaksi kultural dari hanya sekedar mendapatkan
ilmu pengetahuan saja. jadi, nampak jelas fungsi learning societi disurau sangat menonjol.
Sistem pendikan di surau tidak mengenal jenjang atau
tingkatan kelas, murid dibedakan sesuai dengan tingkatan keilmuanya, proses
belajarnya tidak kaku sama muridnya (Urang Siak) diberikan kebebasan
untuk memilih belajar pada kelompok mana yang ia kehendaki. dalam proses
pembelajaran murid tidak memakai meja ataupun papan tulis, yang ada hanya
kitab kuning merupakan sumber utamnya dalam pembelajaran.
Metode utama dalam proses pembalajaran di surau dengan memakai metode ceramah,
membaca dan menghafal. materi pembelajaran yang diberikan Syeikh kepada urang
siak dilaksanakan sambil duduk di lantai dalam bentuk setengah lingkaran.
Syeikh membacakan materi pembelajaran, sementara murid menyimaknya dengan
mencatat beberapa catatan penting disisi kitab yang dibahasnya atau dengan
menggunakan buku khusus yang telah disiapkan oleh murid. Sistem seperti ini
terkenal dengan istilah halaqoh.[5]
3. Sistem Pendidikan Pesantren
a. Asal usul Pesantren
Secara garis besarnya, dijumpai dua macam
pendapat yang mengutamakan tentang pandanganya tentang asal usul pesantren,
sebagai institusi pendidikan Islam.
Pertama pesantren adalah institusi pendidikan
Islam, yang memang berasal dari tradisi Islam. Mereka berkesimpulan, bahwa
pesantren lahir dari pola kehidupan tasawwuf, yang kemudian berkembang
diwilayah Islam, seperti Timur Tengah dan Afrika utara yang dikenal dengan
sebutan zawiyat.
Kedua, pesantren merupakan kelanjutan dari
tradisi Hindu-Budha yang sudah mengalami proses islamisasi. mereka melihat
adanya hubungan antara perkataan pesantren dengan kata Shastri dari bahasa
sanskerta.
Pesantern adalah lembaag pendidikan tertua di
indonesia. Pesantren sudah menjadi milik umat Islam setelah melalui proses
Islamisasi dalam sejarah perkembangannya.
KH Saifuddin Zuhri mengatakan bahwa pesantren
adalah pesantren. Disana diajarkan norma-norma yang tidak mungkin dijumpai di
tempat-tempat lain. Disana bukan sekedar dipelajari berbagai ilmu, dan
bukan pula sekedar melakukan ibadah
saja, tetapi disana diajarkan nilai-nilai yang paling mutlak harus dimiliki
seseorang dalam mengarungi kehidupan.
b. Metode yang digunakan
· Metode sorogan, atau layanan individual
Yaitu bentuk belajar mengajar dimana Kiyai
hanya menghadapi seorang santri yang masih dalam tingkatan dasar atau
sekelompok kecil santri yang masih dalam tingkatan dasar. Tata caranya adalah
seorang santri menyodorkan sebuah kitab di hadapan kiyai, kemudian kiyai
membacakan beberapa bagian dari kitab itu, lalu santri mengulangi bacaan sampai
santri benar-benar membaca dengan baik. bagi santri yang telah menguasai materi
lama, maka ia boleh menguasai meteri baru lagi.
· Metode wetonan dan bandongan, atau layanan kolektif
Ialah metode mengajar Dengan sistem ceramah.
Kiyai membaaca kitab di hadapan kelompok santri tingkat lanjutan dalam jumlah
besar pada waktu tertentu seperti sesudah shalat berjamaah Subuh atau Isya. di
daerah Jawa Barat metode ini lebih dikenal dengan istilah Bendongan. Dalam
metode ini Kiyai biasanya membacakan, menerjemahkan, lalu menjelaskan
kalimat-kalimat yang sulit dari suatu kitab dan para santri menyimak baacaan
Kiyai sambil membuat catatan penjelasan di penggir kitabnya. Di daerah Jawa
metode ini disebut (halaqoh)yakni murid mengelilingi guru yang membahas
kitab
· Metode Musyawarah
Adalah belajar dalam bentuk seminar (diskusi)
untuk membahas setiap masalah yang berhubungan dengan materi
pembelajaran-pelajaran santri ditingkat tinggi. metode ini menekankan keaktifan
pada pihak santri, yaitu santri harus aktif mempelajari dan mengkaji sendiri
buku yang telah ditentukan kiyainya. Kiyai harus menyerahkan dan memberi
bimbingan seperlunya. [6]
c. Kurikulum Pesantren
Menurut Karel A Steenbrink semenjak akhir abad
ke-19 pengamatan terhadap kurikulum pesantren sudah dilakukan misalnya oleh LWC
Van Den Berg (1886) seorang pakar pendidikan dari Belanda. berdasarkan
wawancaranya dengan para kiyai, dia mengkomplikasi suatu daftar kitab-kitab
kuning yang masa itu dipakai dipesantren-pesantren Jawa dan umunya Madura.
kitab-kitab tersebut sampai sekarang pada umumnya masih dipakai sebagai buku
pegangan dipesantren. Daftar tersebut meliputikitab-kitab fikih, baik fikih
secara umum maupun fiikih ibadah, tata bahasa arab, ushuludin, tasawwuf dan
tafsir.
Dari hasil penelitian Van De Berg tersebut,
karel A. Steenbrink menyimpulkan antara lain kitab-kitab yang dipakai
dipesantren masa itu hampir semuanya berasal dari zaman pertengahan dunia
Islam. pendekatan terhadap al-Quran dan tidak terjadi secara langsung melainkan
hanya melalui seleksi yang sudah dilakukan kitab-kitab lain khususnya kitab
fikih. Disamping itu, sekalipun yang masuk ke jawa adalah Islam yang berbau
sufi, namun kedudukan tasawuf menempati kedudukan yang lemah sekali dalam
daftar buku tersebut. kesimpulan yang lebih utama adalah bahwa studi fikih dan
tata bahasa arab merupakan profil pesantren pada akhir abad ke-19 tersebut.
Pada umumnya pendidikan di pesantren mengutamakan pelajaran fikih. Namun sekalipun
mengutamakan pelajaran fikih mata pelajaran lainya tidak di abaikan sama
sekali. Dalm hal ini mata pelajaran yang berhubungan dengan ilmu alat,
pembinaan iman, dan akhlak sangat diperlukan. pengajaran bahasa arab adalah
ilmu bantu untuk pemahaman kitab-kitab agama. Pengajaran bahasa arab tersebut
terdiri dari beberapa cabang dan tingkatan sebagai dasar bagi santri untuk
melakukan pengajian kitab. dengan begitu, santri harus memiliki pengetahuan
bahasa arab terlebih dahulu sebelum pengajian kitab yang sebenarnya
dilaksanakan. Pengajian kitab yang dimaksudkan itu adalah pengajian fikih dari
tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Kitab-kitab fikih tersebut ditulis dalam
bahasa arab.[7]
C. Pengaruh Kebijakan Kolonial
Belanda Terhadap Pendidikan Islam
Selama tiga setengah abad Belanda menjajah
wilayah Nusantara, berbagai macam kebijakan dan pendekatan telah dilakukan oleh
Belanda dalam wilayah jajahannya, yang umumnya kebijakan mereka merugikan
masyarakat secara umum. Menjelang dan awal abad XX ada beberapa kebijakan
Belanda di Indonesia yang secara signifikan berpengaruh terhadap pendidikan.
Setidaknya ada dua kebijakan Belanda yaitu: (1) Politik Etis, dan (2) Ordonansi
(peraturan pemerintah) Guru/Sekolah Liar.
a) Politik Etis
Diberlakukan tahun 1901, politik balas
budi, sehingga adanya kebijakan politik Belanda kepada Indonesia sebagai
jajahannya, dengan kata lain politik ini adalah sistem yang diberlakukan
Belanda untuk membangun negara jajahannya
Cikal bakal politik Etis berdasarkan pidato
kenegaraan yang disampaikan oleh Ratu Belanda Wilhelmina menjelang akhir tahun
1901, diantara pokok-pokok pikirannya; de nieuwe koers de koloniale politiek (arah baru yang akan ditempuh oleh politik penjajahan).
Secara konsep politik Etis sangat baik karena
adanya keberpihakan kepada kaum pribumi. Namun dalam pelaksanaannya kolonial
Belanda bekerjasama dengan kaum liberal (pemegang saham), tetap mengeksplotir
daerah jajahannya untuk kepentingan ekonominya. Dalam menjalankan politik Etis
Belanda menerapkan trilogy program, yaitu meliputi : edukasi(pendidikan), irigasi (pengairan) dan transmigrasi (pemindahan penduduk dari daerah padat ke daerah perkebunan jawa).
Disamping trilogi program tersebut, penjajah Belanda menerapkan prinsip assosiasi, asimilasi, dan unifikasi.
Tetapi betapapun kekhawatiran yang timbul,
agaknya kepentingan dan pertimbangan politik lebih mereka utamakan. karena itu
pelaksanaan politik Etis secara murni, sedikit banyaknya memerlukan
pertimbangan-pertimbangan yang menyangkut kelanjutan politik kolonialis mereka.
diantara pertimbangan itu adalah pertama, memilih sistem pendidikan yang
dapat memenuhi tuntunan moral politik Etis, tapi juga dapat mendukung
kepentingan politik penjajahannya. kedua, berusaha memenuhi bertanggung jawab untuk mendidik dan
mencerdaskan rakyat yang mayoritas muslim dan disamping itu juga berusaha
meredam kekuatan yang mungkin timbul dari pengaruh fanatisme keagamaan mereka.
Meskipun sekolah-sekolah yang didirikan
pemerintah belum dapat mencukupi kebutuhan pendidikan untuk masyarakat, tapi
sekolah-sekolah itu ikut membawa perubahan dalam bidang pendidikan di
Indonesia. sekolah-sekolah sistem barat (Belanda) tersebut mendorong timbulnya
pemikiran baru bagi pengelola pendidikan Islam di tanah air. Sistem pendidikan
pondok pesantren mulai mendapat sorotan karena dinilai kolot, serta sudah tidak
mampu memenuhi tuntunan dan kebutuhan zaman. Sebaliknya, para penyelenggara
pondok pesantren merasa, bahwa sikap menutup diri terhadap dunia luar, erat
kaitannya dengan usaha mempertahankan kemurnian agama dari unsur pengaruh
budaya barat yang modern.
Sebaliknya, adapula yang berpendirian, bahwa
kaum muslimin harus berusaha menemukan sumber kekuatan barat dan memilikinya.
Usaha ini dilakukan dangan cara mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi
barat untuk memperkuat masyarakat Iislam. kedua pendapat tersebut, menurut
Edward Montimer merupakan kunci pemikiran pemuka-pemuka Islam ketika itu.
Kalangan pembaru ini selanjutnya berpendapat, bahwa faktor yang menyebabkan
keterbelakangannya umat islam terletak pada kelemahan sistem pendidikan islam
yang ada. Untuk itu mereka mengadakan pembaruan dibidang pendidikan dengan
menyelanggarakan sistem madarasah, sebagai hasil integrasi antara sistem
pendidikan barat dengan sistem pesantren.
Di Indonesia usaha dan gerakan pembaru itu
dalam bidang pendidikan dimulai pada pertengahan abad ke-20, seperti yang
dilakukan oleh kaum muda di Minangkabau, Jami’at Khair, Muhammadiyyah, al
Irsyad, Persyarikatan Ulama,Persis dan lain-lainya. Sebagai dampak sampingan
dari pembaruan itu pendidikan Islam di Indonesia mengalami perubahan dalam
berbagai aspek seperti, sistem, kelembagaan, administrasi, penyelenggara,
maupun tamatan institusi pendidikan itu sendiri. perubahan tersebut, tampaknya
memberi kesan, bahwa pembaruan pendidikan Islam di Indonesia yang berorientasi
pada modernisasi, menunjukan dirinya sebagai bentuk respon terhadap
sekolah-sekolah pemerintah Belanda yang netral agama.
b) Ordonansi Guru/Sekolah Liar
Sehubungan dengan berdirinya madrasah dan
sekolah agama yang diselenggarakan oleh kalangan Islam pembaru, agaknya
kekhawatiran pemerintah tersebut cukup beralasan. Semula memang pemerintah
membiarkan kehidupan islam pada batas-batas tertentu, sepanjang tidak menggangu
kehadiran Belanda, sambil mengembangkan sistem persekolahan pada pengetahuan
dan keterampilan duniawi, yaitu pendidikan umum; sebagai pencerminan dari sikap
pemerintah Belanda untuk tidak mencampuri lebih jauh masalah Islam.
Tetapi setelah melihat perkembangan lebih
lanjut, seperti peningkatan jumlah madrasah dan sekolah-sekolah swasta sebagai
institusi pendidikan diluar sistem persekolahan pemerintah, kalangan pemerintah
semakin hati-hati terhadap sikap netral mereka selama ini. Masalah Islam yang
menjadi sumber kekhawatiran pemerintah tersebut agaknya tidak terbatas adanya
institiusi pendidikannya saja. Lebih jauh dari itu, mereka memandang
kemungkinan infiltrasi pengaruh Islam tersebut di sekolah-sekolah swasta
lainnya.
Adanya latar belakang tersebut pula
barangkali, yang mendorong pemerintah Belanda merubah sikapnya dalam menghadapi
kemungkinan buruk yang bakal timbul dari peningkatan jumlah madrasah dan
sekolah-sekolah agama.Sebagai tindakan pencagahan, langkah itu dilakukan
melalui pengawasan terhadap sekolah-sekolah liar. sejak adanya perunahan
sikap tersebut, dalam rangka pengawasan dikeluarkan ordonansi
tanggal 28 Maret 1923 Lembaran Negara no 136 dan 260. aslinya berupa pembatasan kebebasan
mengajar bagi guru-guru sekolah swasta.Sistem ini tidak memberi
keuntungan bagi perkembangan institusi pendidikan Islam. Bahkan dalam ordonansi
yang dikeluarkan tahun 1932, dinyatakan bahwa semua sekolah yang tidak di
bangun pemerintah atau tidak memperoleh subsidi dari pemerintah, diharuskan
minta izin terlebih dahulu, sebelum sekolah itu didirikan.
Dengan kebijakan ini pemerintah kolonial
Belanda mendapat reaksi yang luar biasa dari kalangan umat Islam terlebih di
Minangkabau. Hal ini karena umat Islam Minangkabau melihat adanya “sesuatu”
yang akan merugikan Agama Islam jika kebijakan ini dilaksanakan.
Atas reaksi yang sedemikian besar, akhirnya
pemerintahan Belanda melalui Gubernur Jendralnya memberi jawaban bahwa
ordonansi guru di Minangkabau belum ada niat kapan untuk dilaksanakan. Lambat
laun eksistensi orodonansi guru tidak lagi ada urgensinya, dan akhirnya
kebijakan ini di batalkan dan hilang dari peredaran. walaupun sebelum keputusan
ini di buat sesungguhnya Belanda telah berusaha membujuk rayu beberapa tokoh
Islam Minangkabau untuk mendukung pelaksanaan ordonansi ini, namum mereka tidak
berhasil.
PENDIDIKAN ISLAM PADA
ZAMAN JEPANG
Pada zaman ini
pemerintahan Jepang membolehkan berdirinya sekolah-sekolah agama maupun
pesantren dengan tujuan mengambil hati rakyat. Adapun kebijaknnya seperti :
a.
KUA yang dipimpin kembali olah ulama islam
sendiri
b.
Pondok pesantren yang besarmendapat dukungan dan
bantuan
c.
Sekolah negeri diberi mata pelajaran agama
d.
Membentuk Hizbullah (Barisan militer pemuda
islam)
e.
Umat islam mendirikan Masyumi
f.
Mengizinkan berdirinya sekolah tinggi islam dll
Meski begitu pada
zaman penjajahan jepang pendidikan di indonesi adapat dikatakan merosot atau
mengalami kemuduran. Sebagai buktinya
adalah semakin sedikitsekolah yang ada dan berkurangnya jumlah pengajar dll. Pada zaman ini mengalami
perubahan system pendidikan umum yang lebih menekankan nasionalisme maupun
pembentukan kader-kader muda untuk tugas yang berat dimasa mendatang.
PENDIDIKAN ZAMAN KEMERDEKAAN
Setelah
kemerdekaan,pendidikan islam mulai mendapat kedudukan yang sangat penting
seperti :
a.
Pengajaran pendidikan agama di sekolah-sekolah
b.
Penyama rataan gaji guruagamadengan guru lainnya
c.
Dibentuknya Departemen Agama pada tanggal 3
Desember 1946
d.
Pesantren yang sudah mulai berkembang dan
mengikuti perkembangan zaman
e.
Sekolah agama termasuk madrasah ditetapkan
sebagai model dan sumber pendidikan
nasional berdasarkan UUD 1945.
f.
Sekolah agama mendapat pengakuan dari mentri
agama dan dianggap telah memenuhi
kewajiban belajar (Undang-Undang Pendidikan dan Pengajaran no 4 tahun 1950)
dll.
Pada tahun 1958
pemerintah mendirikan madrasah negeri dengan ketentuan kurikulum 30% pendidikan
agama dan 70% pendidikan umum sebagai berikut :
a.
Madrasah Ibtidaiyah Negeri setingkat dengan SD
b.
Madrasah Tssanawiyah Negeri setingkat dengan SMP
c.
Madrasah Aliyah Negeri setingkat dengan SMA
Pada tahun 1975
dikeluarkan SKB dimana madrasah diharapkan memperoleh posisi dengan sekolah
umum. Sedangkan tahun 1984 dikeluarkan SKB yang merupakan tindak lanjut dari
kurikulum sebelumnya yaitu tentang pembukuan kurikulum sekolah umum dan
kurikulum madrasah.
Perguruan Tinggi
Islam pun berkembang pesat dengan berdirinya SekolahIslam Tinggi di Minangkabau, Sekolah Tinggi Islam di
Jakarta dan berubah menjadi Universitas Islam Indonesia yang bertempat di
Yogyakarta lalu berkembanglah IAIN dll
0 Komentar